Tuesday 23 April 2013

hati yang terluka


Kita selalu memerlukan sebuah cermin untuk  menilai seberapa panjang rambut kita, seberapa banyak jerawat yang menghiasi wajah kita, seberapa kedut baju yang kita pakai, atau sekadar memastikan apakah hari ini letak telinga sebelah kiri adalah sama dan seimbang dengan telinga sebelah kanan,dan sebagainya..
“Buruk rupa, cermin dibelah.”
Kalimat sakti ini seolah menyindir mereka yang enggan menerima sebuah kenyataan pahit bahawa pada dirinya terdapat perkara yang (mungkin) bertentangan dengan nilai estetika mahupun etika manusia kebanyakan, kerana pada kenyataannya cermin selalu jujur memantulkan objek  di depannya dan (atau) merefleksikan kembali tanpa hipokrit.
Saya menemui salah satu cermin yang  sebenarnya sudah Allah selipkan untuk kita temui sewaktu di saat-saat tertentu ketika saya memerlukannya. Setiap tarikan nafas, menjelma istighfar yang membawa saya kembali menemui kenyataan sejati bahawa diri yang daif ini amat sangat lemah, kecil, dan hampir tak bererti.
Jika Nabi Muhammad SAW yang maksum dan mahfudz beristighfar setiap hari kepada Allah sebanyak 70 kali dengan genangan airmata.
Jika Abu Bakar pernah  memegang lidahnya sambil mengatakan “Lidah inilah yang menjerumuskan aku ke dalam banyak lubang (kesalahan).” sehingga dia sering menangis dan berharap boleh menjadi pohon yang dimakan dan dilumat saja tanpa diminta untuk bertanggungjawab.
Jika Umar pernah didapati pada suatu malam memukul kedua kakinya dengan kayu seraya berkata, ”Apa yang sudah ku kerjakan hari ini.”
Jika Usman setiap kali berhenti pada suatu perkuburan selalu menangis sehingga air mata membasahi janggutnya, demikian juga halnya Ali yang sentiasa menangis kerana takut akan datangnya hari dimana segala sesuatu akan diperhitungkan.
Mengapa saya tidak terganggu dengan perkara itu?  Hei… Apa yang terjadi dengan saya?  Iblis mana yang telah menyelitkan rasa ujub dan takabbur ke dalam rongga hati hingga tanpa sedar diri ini seakan larut dan terbawa, bahkan   memandang diri yang lemah ini dengan kekaguman?
Saya bersyukur Allah telah mengirimkan seorang sahabat di sepertiga malam terahir yang pada dirinya saya temukan “cermin” yang dengan cermin darinya saya dapat melihat  luka-luka yang ada di dalam jiwa saya. Luka-luka yang selama ini  mungkin telah saya abaikan.

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati kerana takut akan azab Tuhan mereka. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun). Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, kerana mereka tahu sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minuun: 57-60)




Sunday 14 April 2013

#1001 kisah manusia


akhirnya 

cerita itu sampai jua di cuping telinga aku
walau engkau berlagak seperti tidak tahu
tanpa rasa segan dan juga silu
sungguh tak tahu malu
kau adu
kau dan reka cerita mu
tentang aku
segalanya aku tahu

akhirnya
aku sendiri bisa menilai dirimu
aku sendiri bisa mengetahui akan busuk'nya hati kamu
walau telah di bilang berkali kali oleh rakan taulan mu
hanya aku berkepala batu
tetap jua mendampingi mu

segalanya
sudah terpamer
sudah terserlah
sudah jelas
sudah cukup
sudah sudah lah

#1001kisahmanusia 


Wednesday 3 April 2013

Insyaallah


I have spent a lot of my life trying to reconcile between hardship and ease. On the one hand, we are told again and again that the straight path is not easy and requires struggle and sacrifice. But on the other hand, as humans we always desire ease. What I have come to realize is that the path will always have challenges, tests and trials. There will be hardships and there will be storms. But, if Allah wills, you can be given ease *within* the hardship. The one who finds refuge in Allah, remains dry—even during the most powerful storm. Outside, it may be raining, but inside the refuge of Allah, it’s dry. Outside, it may be storming, but inside yourself, there is calm. Even the flames of your life can be made ‘bardan wa salama’ (coolness and safety), as they were on Ibraheem (AS). So my focus was wrong. I was trying to create a jennah, a perfect, storm-free, fireless world, outside. 
But this doesn’t exist in dunya. I needed to shift the focus. Jennah—a calm, peaceful world—can exist inside. 
Your sanctuary is inside yourself.
 No one can take that sanctuary away from you.
 No storm can affect it. 
No rain can reach it. Work on building *that* jennah. 
Work on entering *that* jennah.
And you will have jennah in this life, and the next.